I. Pendahuluan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 merupakan sebuah keputusan penting yang mempertimbangkan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam analisis ini, akan dibahas secara objektif dan formal mengenai duduk perkara, kedudukan hukum dan kerugian hukum pemohon, alasan-alasan permohonan, petitum, pertimbangan hukum, konklusi, serta pendapat berbeda yang muncul dalam putusan tersebut.
II. Duduk Perkara
Dalam putusan ini, pemohon, Almas Tsaqibbirru Re A, seorang pelajar/mahasiswa, mengajukan permohonan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pemohon didukung oleh kuasa hukum yang tergabung dalam Perkumpulan Bantuan Hukum Peduli Keadilan. Permohonan tersebut telah diterima oleh Mahkamah Konstitusi dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik.
III. Kedudukan Hukum dan Kerugian Hukum Pemohon
Dalam putusan ini, Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan kedudukan hukum pemohon sebagai pihak yang mengajukan permohonan. Pemohon didasarkan pada Surat Kuasa Khusus dan didukung oleh kuasa hukum yang sah. Adapun kerugian hukum pemohon tidak secara tegas disebutkan dalam salinan putusan yang tersedia.
IV. Alasan-Alasan Permohonan
Pemohon dalam permohonannya mengajukan beberapa alasan, termasuk adanya dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pemohon berpendapat bahwa Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang tersebut bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945 yang menjamin hak-hak dan kepentingan konstitusional pemohon.
V. Petitum
Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan bahwa Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemohon juga meminta Mahkamah menyatakan bahwa Pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat jika tidak dimaknai “berusia paling rendah-rendahnya 35 tahun”.
VI. Pertimbangan Hukum
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan kewenangannya dalam sistem hukum Indonesia untuk menguji undang-undang secara formil dan materiil. Mahkamah juga membandingkan permohonan pemohon dengan permohonan sebelumnya yang masih berjalan, yaitu Nomor Perkara 29/PUU-XXI/2023.
VII. Konklusi
Berdasarkan pertimbangan hukum yang diungkapkan, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa permohonan pemohon tidak bersifat nebis in idem terhadap permohonan sebelumnya. Mahkamah juga menyatakan bahwa materi dan muatan dalam permohonan tersebut berbeda dengan permohonan sebelumnya yang sedang berjalan.
VIII. Pendapat Berbeda
Dalam putusan ini, tidak terdapat informasi mengenai pendapat berbeda yang muncul dari hakim-hakim Mahkamah Konstitusi.
Kesimpulan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 merupakan hasil pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam putusan ini, Mahkamah Konstitusi secara objektif mempertimbangkan duduk perkara, kedudukan hukum pemohon, alasan-alasan permohonan, petitum, pertimbangan hukum, dan konklusi. Namun, informasi yang tersedia terbatas, dan tidak ada pendapat berbeda yang disampaikan oleh hakim-hakim Mahkamah Konstitusi.
Kesimpulan analisis ini adalah bahwa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 memberikan keputusan terkait permohonan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Meskipun masih terbatas sumber-sumber kajian ini, namun, upaya untuk memberikan analisis objektif dan formal tentang putusan tersebut, dalam tugas kuliah ini kami mencatat bahwa analisis ini didasarkan pada salinan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Opini tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 merupakan sebuah keputusan yang penting dalam konteks pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam menganalisis putusan ini secara objektif dan formal, terdapat beberapa aspek yang perlu dikritisi, yaitu validitas dan objektivitas putusan tersebut.
Validitas putusan menjadi hal yang sangat penting dalam konteks keabsahan dan keberlakuan hukum. Validitas sebuah putusan dapat dinilai dari kecocokan dan konsistensi argumen serta pemahaman terhadap hukum yang diterapkan. Namun, dalam salinan putusan yang tersedia, terdapat keterbatasan informasi yang menghalangi penilaian validitas secara menyeluruh.
Pertama, penjelasan terkait kedudukan hukum pemohon dan kerugian hukum yang dialami tidak dijelaskan dengan tegas dalam salinan putusan. Keterbatasan informasi ini menghambat pemahaman tentang alasan yang melandasi pertimbangan hakim dalam menentukan kedudukan hukum pemohon dan dampak yang ditimbulkan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Kedua, terdapat kurangnya rincian mengenai alasan-alasan permohonan yang diajukan oleh pemohon. Informasi yang lebih komprehensif mengenai dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan argumen pemohon akan memberikan kejelasan yang lebih dalam terkait substansi permohonan.
Ketiga, dalam salinan putusan juga tidak terdapat informasi mengenai pendapat berbeda yang muncul dari hakim-hakim Mahkamah Konstitusi. Pendapat berbeda merupakan aspek yang penting dalam konteks keobjektivan sebuah putusan, karena memperkaya perspektif dan memperluas ruang diskusi terhadap argumen yang diajukan.
Selain validitas, objektivitas putusan juga menjadi fokus kritik yang perlu diperhatikan. Objektivitas melibatkan ketidakberpihakan dan keadilan dalam pengambilan keputusan. Dalam putusan ini, objektivitas dapat dipertanyakan karena kurangnya informasi dan argumen yang memadai dalam salinan putusan yang tersedia.
Keterbatasan informasi yang disampaikan dalam salinan putusan menjadi kendala dalam menilai secara objektif dan menyeluruh. Sebagai lembaga yang memiliki kekuasaan besar dalam menafsirkan undang-undang, Mahkamah Konstitusi memiliki tanggung jawab untuk memberikan penjelasan yang jelas dan rinci dalam putusannya. Hal ini penting agar masyarakat dapat memahami dasar hukum yang menjadi landasan keputusan tersebut.
Dalam rangka meningkatkan validitas dan objektivitas putusan Mahkamah Konstitusi, transparansi dan keterbukaan informasi menjadi kunci. Mahkamah Konstitusi sebaiknya menyediakan salinan putusan yang lebih lengkap dan rinci kepada publik, sehingga masyarakat dapat mempelajari dan mengkaji argumen-argumen yang digunakan dalam pengambilan keputusan.
Dalam kesimpulannya, kritik terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 terfokus pada validitas dan objektivitas. Keterbatasan informasi yang tersedia dalam salinan putusan menghambat penilaian yang lebih mendalam. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi perlu meningkatkan transparansi dan keterbukaan dalam memberikan penjelasan yang memadai serta mempertimbangkan sudut pandang yang berbeda dalam putusannya. Hal ini akan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan dan menjaga integritas serta kredibilitas putusan Mahkamah Konstitusi.